Arakan Army Dikecam atas Persekusi Warga Rohingya, Junta Paksa Warga Muslim Perang


Gelombang kecaman internasional terhadap Arakan Army (AA) semakin membesar usai laporan terbaru menyebut kelompok bersenjata etnis Rakhine itu kembali melakukan perampasan properti milik warga Rohingya di utara Rakhine. Dengan dalih memberantas simpatisan kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) dan pihak yang dianggap bersekongkol dengan junta militer Myanmar, AA dituduh melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap warga sipil tak bersenjata.

Sejak pekan lalu, sejumlah rumah, toko, dan lahan milik warga Rohingya di Kayin Htan Quarter, Maungdaw, mulai disita oleh pasukan AA. Saksi mata menyebut rumah-rumah yang disita diberi tanda papan merah sebagai simbol bahwa properti tersebut telah diambil alih.

Banyak warga Rohingya mengaku dituduh tanpa bukti memiliki hubungan dengan ARSA, padahal sebagian besar dari mereka justru pernah menjadi korban kekerasan oleh kelompok itu. “Ketika AA masuk ke Buthidaung, mereka ambil semua milik kami. Mereka bilang kami simpatisan ARSA. Padahal sebagian dari kami dulu disiksa ARSA,” ujar seorang pengusaha Rohingya kepada Arakan Now.

Praktik perampasan ini dinilai bukan hanya mencederai hak-hak warga Rohingya, tetapi juga berpotensi memperburuk citra Arakan Army di mata internasional. Sebagai kelompok etnis yang selama ini mengklaim berjuang melawan ketidakadilan junta, tindakan diskriminatif terhadap Rohingya justru menempatkan AA dalam posisi paradoks.

Selama ini, AA dikenal aktif melakukan perlawanan terhadap militer Myanmar di wilayah Rakhine. Namun, tindakan kekerasan terhadap etnis Rohingya dengan dalih keamanan dan eliminasi simpatisan ARSA hanya akan memperpanjang rantai konflik dan memperkeruh situasi di lapangan.

Aktivis hak asasi manusia menyayangkan AA yang seharusnya bisa menjadi kekuatan anti-junta justru mengikuti jejak kekerasan yang selama ini dilakukan militer Myanmar terhadap warga Rohingya. Dengan melakukan persekusi terhadap kelompok minoritas, AA dinilai telah menodai klaimnya sebagai pembela keadilan untuk rakyat Rakhine.

Organisasi pengamat HAM di kawasan Asia Tenggara menilai AA seharusnya membuka jalur dialog dan perlindungan bagi kelompok sipil yang rentan. Tuduhan terhadap warga tanpa proses hukum hanya akan melanggengkan ketakutan dan kekacauan di wilayah konflik.

Banyak pihak mengingatkan bahwa tindakan AA ini dapat merusak peluangnya untuk mendapat pengakuan internasional dan simpati publik dunia. Di mata komunitas global, kelompok bersenjata yang melakukan kekerasan terhadap warga sipil, apapun motifnya, akan kehilangan legitimasi moral.

Selain properti, laporan juga menyebut sejumlah pemuda Rohingya ditangkap dan dipaksa angkat senjata bersama AA. Mereka bisa dituduh sebagai pendukung ARSA jika tak menuruti kemauan AA. Praktik ini dikhawatirkan memicu gelombang pelanggaran HAM baru di tengah situasi Myanmar yang sudah rapuh akibat perang saudara.

Kecaman datang dari aktivis diaspora Rakhine dan Rohingya yang selama ini berharap konflik di Rakhine bisa diselesaikan tanpa mengorbankan warga sipil. Mereka menuntut AA menghentikan penyitaan dan intimidasi terhadap warga Rohingya, serta membebaskan mereka yang ditahan tanpa alasan jelas.

Di tingkat diplomasi, aksi AA berpotensi memperkeruh hubungan kelompok itu dengan komunitas internasional yang selama ini memberikan ruang negosiasi bagi perjuangan Rakhine. Banyak negara menyatakan akan sulit membedakan AA dari militer Myanmar jika terus melakukan kekerasan sektarian.

Sebagian analis menilai, tindakan AA bisa memicu instabilitas lebih luas karena membuka peluang ARSA bangkit kembali dengan alasan membela komunitasnya. Ketika warga kehilangan rumah, tanah, dan hak sipil, potensi radikalisasi makin besar.

Pakar keamanan regional menegaskan bahwa AA harus sadar bahwa kekuatan perjuangan rakyat tidak lahir dari kekerasan terhadap sesama korban konflik. Rohingya, yang selama ini terpinggirkan, seharusnya dilibatkan dalam solusi damai jangka panjang di Rakhine.

Ketua Komisi HAM Myanmar di pengasingan menyebut tindakan AA ini sebagai kemunduran tragis. “Ketika korban menjadi pelaku, maka tidak ada yang bisa kita harapkan dari masa depan demokrasi di Rakhine,” ujarnya dalam pernyataan pers.

AA sejauh ini belum memberikan tanggapan resmi atas tuduhan tersebut. Namun laporan media setempat dan pengakuan warga korban terus bermunculan, mempertegas adanya pola sistematis dalam penyitaan properti milik warga Rohingya.

Ketegangan etnis di Rakhine sudah berlangsung lebih dari satu dekade. Setelah eksodus besar-besaran Rohingya ke Bangladesh, yang tersisa di Myanmar hidup dalam ketakutan, dengan hak-hak yang sangat terbatas. Kini, ancaman datang bukan hanya dari junta, tetapi juga dari kelompok bersenjata lokal.

Kepemimpinan AA didesak untuk mengevaluasi kebijakan lapangan mereka agar tidak mengulangi dosa kekerasan sektarian militer Myanmar. Alih-alih menindas, AA justru bisa merangkul warga Rohingya yang selama ini juga menjadi korban junta maupun ARSA.

Pengamat hubungan sipil-militer di Myanmar memperingatkan bahwa jika AA terus melakukan kekerasan berbasis etnis, kelompok ini akan kehilangan posisi strategisnya dalam peta politik Myanmar pasca-perang. Dukungan internasional pun bisa menguap.

Hingga saat ini, masyarakat internasional, termasuk ASEAN dan PBB, diharapkan segera menekan AA untuk menghentikan kekerasan terhadap warga Rohingya. Krisis kemanusiaan yang terjadi di Rakhine tak boleh dibiarkan makin dalam akibat konflik antar kelompok yang seharusnya bersatu melawan penindasan junta.

Junta Paksa Pengungsi Rohingya Jadi Tentara

Laporan terakhir menunjukkan bahwa para pemuda Muslim yang baru dilatih serta tentara sipil yang belum berpengalaman sedang dikerahkan ke garis depan pertempuran yang sedang berlangsung di Kyaukphyu melawan Arakan Army (AA) di Negara Bagian Rakhine, yang mengakibatkan banyak korban jiwa.

Seorang sumber militer memberitahu Narinjara bahwa bentrokan di Kotapraja Kyaukphyu melibatkan tidak hanya Muslim dari kamp pengungsi internal (IDP) Kyauktalone yang telah menyelesaikan pelatihan selama 45 hari, tetapi juga pemuda Muslim dari Sittwe yang dikirim ke medan perang melawan AA.

"Dalam pertempuran yang sedang berlangsung di Kyaukphyu, baik Muslim yang sudah dilatih maupun milisi sipil yang belum terlatih menjadi pihak yang paling banyak mengalami korban jiwa bulan ini. Para pemuda Muslim dari Kyaukphyu dan yang dikirim dari Sittwe dipaksa oleh junta untuk terlibat dalam pertempuran meskipun mereka tidak memiliki pengalaman militer," kata sumber tersebut.

Ia juga menambahkan bahwa beberapa jenazah tentara Muslim telah ditemukan di tengah pertempuran saat ini, dan kesaksian dari tentara yang tertangkap menunjukkan bahwa personel Muslim memang digunakan dalam konflik di Kyaukphyu.

Sumber itu juga mengungkapkan bahwa sementara tentara junta yang terluka dikirim ke rumah sakit umum di Yangon, Sittwe, dan Kyaukphyu, tentara Muslim justru dirawat secara diam-diam di dalam kamp-kamp militer dan di Gerbang Kyaukphyu karena khawatir akan ketahuan.

"Jika tentara biasa terluka, mereka mendapatkan perawatan di rumah sakit Kyaukphyu, Sittwe, dan Yangon. Tapi tentara Muslim dilarang masuk ke fasilitas itu. Dewan militer takut publik mengetahui bahwa mereka menggunakan Muslim di medan perang dan dunia akan melihat bahwa mereka memaksa para pemuda ini bertempur," tambah sumber tersebut.

Warga setempat melaporkan melihat tentara Muslim bersenjata menjaga pelabuhan Ngala Pwe di Kyaukphyu, yang semakin memicu kekhawatiran tentang keterlibatan mereka.

"Para tentara Muslim yang tewas dalam pertempuran dikuburkan di dekat kamp pengungsi internal Kyauk Talone, dan yang terluka dirawat secara rahasia oleh batalion dewan militer di Gerbang Kyauktan," kata seorang warga lokal.

Ketika dihubungi, U Khaing Thukha, juru bicara Arakan Army, tidak memberikan tanggapan terkait penggunaan pemuda Muslim oleh dewan militer dalam pertempuran di Kyaukphyu.

U Khaing Tin Tin Maung, yang terlibat dalam pendirian Arakan Army di bawah Jenderal Khaing Raza, menyatakan, "Dewan militer merekrut anak-anak muda dari berbagai wilayah di Myanmar dengan berbagai cara. Mereka secara khusus merekrut pemuda Muslim dari daerah-daerah di bawah kendali mereka di Negara Bagian Rakhine dan mengirim mereka ke garis depan tanpa pelatihan yang memadai. Banyak dari mereka bahkan belum menyelesaikan pelatihan dasar, yang menunjukkan betapa cerobohnya para jenderal dan pejabat militer yang pada dasarnya mengirim anak-anak muda ini menuju kematian."

Pada Februari 2024, kepala strategi lokal junta secara pribadi merekrut 107 pemuda dari kamp pengungsi Muslim Kyauk Talone di Kyaukphyu untuk mengikuti pelatihan militer, dan warga setempat melaporkan bahwa para pemuda tersebut kini telah dikerahkan ke medan tempur.


Posting Komentar

0 Komentar