Peristiwa-peristiwa bersejarah di awal abad ke-20 di wilayah Sumatra Utara menyimpan catatan penting mengenai dinamika pembentukan identitas etnis, khususnya di kalangan masyarakat yang kini dikenal sebagai bagian dari kelompok Batak dan Mandailing. Sebuah undangan rapat yang beredar di Medan pada akhir tahun 1919 menjadi salah satu contoh bagaimana perbedaan pandangan dan identifikasi diri mulai mengkristal. Rapat tersebut bertujuan untuk membahas berbagai persoalan adat yang dianggap berkaitan dengan "bangsa Batak".
Namun, respons yang muncul dari kalangan masyarakat Mandailing menunjukkan adanya garis pemisah yang tegas dalam identifikasi etnis.
Sebagaimana yang dikutip dari harian Pewarta Deli pada tanggal 15 Oktober 1919, orang-orang Mandailing secara terbuka menolak untuk berpartisipasi dalam pertemuan tersebut. Mereka menyatakan dengan jelas bahwa pertemuan yang membahas adat "bangsa Batak" itu tidak memiliki kaitan atau sangkut paut dengan adat dan bangsa Mandailing. Penolakan ini mengindikasikan adanya kesadaran identitas yang berbeda dan penolakan terhadap penggabungan identitas Mandailing ke dalam payung "Batak".
Setahun berselang, polarisasi identitas kembali mewarnai dinamika internal sebuah perusahaan yang cukup berpengaruh di wilayah tersebut, yaitu Sjarikat Tapanuli. Perusahaan ini dikenal sebagai penerbit dari surat kabar Pewarta Deli, yang menjadi salah satu sumber informasi penting pada masa itu. Di dalam tubuh Sjarikat Tapanuli, perbedaan identifikasi etnis mencapai puncaknya dalam sebuah pemungutan suara yang dicatat oleh seorang pengamat bernama Perret.
Dalam pemungutan suara tersebut, para pemegang saham yang mengidentifikasi diri sebagai "Batak" menunjukkan solidaritas etnis yang kuat dengan hanya memberikan suara mereka kepada kandidat yang juga berasal dari kelompok Batak. Sementara itu, para pemegang saham yang mengidentifikasi diri sebagai "Mandailing" mengambil sikap yang berbeda. Mereka memberikan suara kepada kandidat yang berasal dari kedua kelompok etnis, baik Batak maupun Mandailing.
Sikap pemegang saham Mandailing ini menunjukkan adanya keinginan untuk tetap menjaga persatuan dan mengakui keberadaan kedua identitas dalam struktur perusahaan. Namun, hasil pemungutan suara yang didominasi oleh suara pemegang saham Batak menimbulkan ketidakpuasan di kalangan orang-orang Mandailing. Mereka merasa bahwa aspirasi dan identitas mereka tidak terakomodasi dengan baik dalam Sjarikat Tapanuli.
Ketidakpuasan ini kemudian berujung pada sebuah keputusan yang signifikan. Pada bulan Desember tahun 1921, orang-orang Mandailing yang merasa tidak terwakili dan tidak puas dengan dinamika di Sjarikat Tapanuli memutuskan untuk membentuk perusahaan sendiri. Perusahaan baru ini didirikan sebagai wadah bagi kepentingan dan identitas masyarakat Mandailing, dan diberi nama Sjarikat Mandailing.
Langkah pendirian Sjarikat Mandailing ini merupakan manifestasi dari semakin kuatnya kesadaran identitas etnis di kalangan masyarakat Mandailing dan penolakan terhadap dominasi atau penggabungan identitas mereka ke dalam kelompok "Batak". Pembentukan perusahaan sendiri dianggap sebagai cara untuk menjaga otonomi dan memperjuangkan kepentingan mereka secara mandiri.
Kepemimpinan Sjarikat Mandailing dipercayakan kepada Mohammad Noech, seorang tokoh yang memiliki pengaruh di kalangan masyarakat Mandailing. Di bawah kepemimpinannya, Sjarikat Mandailing segera mengambil langkah-langkah strategis untuk memperkuat identitas dan kepentingan anggotanya.
Salah satu keputusan pertama yang diambil oleh Sjarikat Mandailing di bawah kepemimpinan Mohammad Noech menunjukkan dengan jelas batas-batas identitas yang ingin mereka tegaskan.
Keputusan pertama tersebut adalah melarang orang-orang yang tidak berasal dari etnis Mandailing untuk menjadi anggota perusahaan. Kebijakan eksklusif ini secara tegas menunjukkan bahwa Sjarikat Mandailing didirikan khusus untuk merangkul dan memberdayakan masyarakat Mandailing, sekaligus menegaskan perbedaan identitas mereka dari kelompok etnis lainnya, termasuk Batak.
Larangan keanggotaan bagi non-Mandailing ini menjadi simbol dari keinginan masyarakat Mandailing untuk memiliki wadah organisasi yang benar-benar merepresentasikan identitas dan kepentingan mereka secara spesifik. Langkah ini juga mencerminkan adanya pengalaman kurang menyenangkan atau ketidakpercayaan terhadap organisasi yang didominasi oleh kelompok etnis lain.
Peristiwa-peristiwa di sekitar tahun 1919 hingga 1921 ini menjadi bukti penting dalam sejarah pembentukan identitas etnis di Sumatra Utara. Penolakan orang Mandailing untuk dianggap sebagai bagian dari "bangsa Batak" dan pendirian Sjarikat Mandailing menunjukkan bahwa identitas etnis bersifat dinamis dan dapat mengalami polarisasi berdasarkan kesadaran sejarah, adat, dan kepentingan kelompok.
Polarisasi identitas ini juga memberikan gambaran tentang kompleksitas hubungan antar kelompok etnis di wilayah tersebut pada masa itu. Meskipun memiliki kedekatan geografis dan sejarah, perbedaan dalam identifikasi diri dan kepentingan kelompok dapat memicu pemisahan dan pembentukan organisasi yang berbeda.
Kisah ini juga mengingatkan kita bahwa identitas etnis bukanlah sesuatu yang statis atau tunggal. Individu dan kelompok dapat memiliki pemahaman dan preferensi yang berbeda dalam mengidentifikasi diri mereka. Proses pembentukan identitas seringkali dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi.
Penolakan orang Mandailing dan pendirian Sjarikat Mandailing merupakan bagian dari proses panjang dalam mendefinisikan dan menegaskan identitas etnis di Sumatra Utara. Peristiwa ini memberikan kontribusi penting dalam memahami peta etnis dan dinamika sosial di wilayah tersebut hingga saat ini.
Kisah ini juga relevan dalam konteks yang lebih luas mengenai studi tentang etnisitas dan nasionalisme. Bagaimana kelompok-kelompok etnis yang berbeda berinteraksi, bernegosiasi, dan bahkan memisahkan diri berdasarkan pemahaman identitas dan kepentingan mereka adalah tema penting dalam ilmu sosial.
Peristiwa-peristiwa di awal abad ke-20 di Sumatra Utara menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya pengakuan dan penghormatan terhadap keberagaman identitas etnis. Upaya untuk memaksakan homogenitas atau mengabaikan perbedaan identitas dapat memicu konflik dan perpecahan.
Sebaliknya, pengakuan terhadap keberagaman dan dialog yang konstruktif antar kelompok etnis dapat membangun persatuan yang lebih kokoh dan harmonis. Kisah penolakan orang Mandailing dan pendirian Sjarikat Mandailing menjadi catatan sejarah yang perlu dipahami dalam konteks membangun relasi antar etnis yang lebih baik di masa kini dan masa depan.
Pada akhirnya, sejarah pembentukan identitas etnis di Sumatra Utara, yang ditandai dengan penolakan dan pemisahan organisasi, memberikan wawasan yang mendalam tentang kompleksitas identitas dan pentingnya mengakui keberagaman dalam masyarakat. Kisah ini adalah bagian tak terpisahkan dari mozaik sejarah Indonesia yang kaya dan beragam.
0 Komentar