Kisah Tokoh Bangsa di Petisi 50 yang Dipersekusi tanpa HAM

ilustrasi



PEMERSATU 2024 -- Soeharto kemudian mencabut hak-hak perjalanan para kritikusnya, dan melarang koran-koran menerbitkan foto-foto mereka ataupun mengutip pernyataan-pernyataan mereka. Para anggota kelompok ini tidak dapat memperoleh pinjaman bank dan kontrak-kontrak.


Pernyataan bermuatan kritik kepada Presiden Soeharto itu terkenal dengan nama “Petisi 50”. Petisi itu dinyatakan pada tahun-tahun ketika Soeharto sedang berada di puncak kekuasaannya. (baca)

Sejatinya ini adalah tanggapan atas pidato Presiden Soeharto yang oleh para 50 tokoh penandatangannya diberi nama “Ungkapan Keprihatinan”.

Di bagian akhir petisi dinyatakan: … Kami mendesak para wakil rakyat di DPR dan MPR untuk menanggapi pidato-pidato Presiden pada tanggal 27 Maret dan 16 April 1980.

Apa isi petisi presiden Soeharto? Kenapa oleh para pengkritiknya dinilai mencemaskan?

Isi selengkapnya dari “Ungkapan Keprihatinan” tersebut adalah sebagai berikut:

Dengan berkat rahmat Allah yang Mahakuasa, kami yang bertandatangan di bawah ini, yakni sekelompok pemilih dalam pemilu-pemilu yang lalu, mengungkapkan keprihatinan rakyat yang mendalam atas pernyataan-pernyataan Presiden Soeharto dalam pidato-pidatonya di hadapan rapat panglima ABRI di Pekanbaru pada tanggal 27 Maret 1980 dan pada peringatan hari ulang tahun Koppasandha di Cijantung pada tanggal 16 April 1980. Kami prihatin akan pidato-pidato Presiden Soeharto yang:

a) Mengungkapkan prasangka bahwa di antara rakyat kita yang bekerja keras untuk membangun meskipun mereka mengalami beban yang semakin berat, terdapat polarisasi di antara mereka yang ingin “melestarikan Pancasila” di satu pihak dengan mereka yang ingin “mengganti Pancasila” di pihak lain, sehingga muncullah keprihatinan-keprihatinan bahwa konflik-konflik baru dapat muncul di antara unsur-unsur masyarakat;

b) Keliru menafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan sebagai suatu ancaman terhadap lawan-lawan politik. Pada kenyataannya, Pancasila dimaksudkan oleh para pendiri Republik Indonesia sebagai alat pemersatu Bangsa;

c) Membenarkan tindakan-tindakan yang tidak terpuji oleh pihak yang berkuasa untuk melakukan rencana-rencana untuk membatalkan Undang-Undang Dasar 1945 sambil menggunakan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sebagai alasannya, meskipun kenyataannya hal ini tidak mungkin karena kedua sumpah ini berada di bawah UUD 1945;

d) Meyakinkan ABRI untuk memihak, untuk tidak berdiri di atas seluruh golongan masyarakat, melainkan memilih-milih teman-temannya berdasarkan pertimbangan pihak yang berkuasa;

e) Memberikan kesan bahwa dia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila;

f) Melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa ada usaha-usaha untuk mengangkat senjata, mensubversi, menginfiltrasi dan perbuatan-perubatan jahat lainnya dalam menghadapi pemilu yang akan datang.

Mengingat pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam pidato-pidato Presiden Soeharto adalah unsur yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan pemerintahan negara ini dan pemilihan umum yang segera akan berlangsung, kami mendesak para wakil rakyat di DPR dan MPR untuk menanggapi pidato-pidato Presiden pada tanggal 27 Maret dan 16 April 1980.

Jakarta, 5 Mei 1980

Apa tanggapan Soeharto? Di buku otobiografinya “Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”, Bab. 58. Hal Oposisi, hal. 346, ia mengatakan, “Sesungguhnya saya gembira jika ada oposisi terhadap saya, dengan syarat ia adalah oposisi yang loyal. Tetapi apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan dirinya “Petisi 50″ itu, tidak saya sukai. Cara-caranya tidak saya sukai. Lebih-lebih kalau melihat bahwa mereka adalah juga yang menyebut dirinya pejuang-pejuang.”

Apakah oposisi loyal itu? Tidak dijelaskan. Tetapi, kata Soeharto, dalam Demokrasi Pancasila tidak ada tempat untuk oposisi ala Barat.

Dalam alam Demokrasi Pancasila kita mengenal musyawarah untuk memperoleh mufakat rakyat.

“Oposisi seperti di Barat tidak kita kenal di sini. Oposisi yang asal saja menantang, asal saja berbeda, tidak kita kenal di sini,” kata Soeharto.

Atas desakan “Petisi 50” itu bergerakkah DPR?

Petisi dibacakan di depan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 13 Mei 1980 dengan maksud untuk meyakinkan para wakil rakyat agar meminta penjelasan dari Presiden tentang apa maksudnya yang sesungguhnya dengan kedua pidatonya itu.

Pada 3 Juli 1980, 19 anggota DPR mengajukan sebuah dokumen yang memuat dua buah pertanyaan kepada Presiden.

Mereka bertanya apakah presiden setuju bahwa Ungkapan Keprihatinan itu memuat masalah-masalah penting yang patut mendapatkan perhatian dari semua pihak, khususnya dari DPR dan pemerintah, dan apakah rakyat Indonesia patut mendapatkan penjelasan yang menyeluruh dan terinci tentang masalah-masalah yang diangkat.

Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan kepada Presiden dalam sebuah surat tertanggal 14 Juli. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengundang berbagai reaksi di lingkungan DPR.

Seorang anggota DPR, Soedardji, tidak setuju bahwa Presiden harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, rekan separtainya, Anwar Nuris, mengatakan bahwa hal itu adalah bagian yang normal dari proses berkonstitusi.

Pada 1 Agustus 1980, Soeharto menyampaikan jawabannya kepada Ketua DPR Daryatmo, dengan melampirkan salinan dari kedua pidatonya yang mendorong lahirnya “Ungkapan Keprihatinan”.

Soeharto menulis bahwa ia yakin bahwa para anggota DPR yang telah berpengalaman akan memahami makna dari pidato-pidatonya itu, namun apabila mereka masih belum puas, ia mengusulkan agar para anggota DPR mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka kepada anggota-anggota dari Komisi-Komisi DPR terkait, sesuai dengan prosedur tata cara DPR.

Pemerintah lalu dengan senang hati akan memberikan penjelasan-penjelasan tambahan, melalui Menteri Pertahanan/para panglima militer, khususnya tentang hal-hal yang diangkat oleh “Petisi 50”.

Ketua DPR menyampaikan kepada wartawan bahwa menurut pendapatnya, tanggapan ini telah cukup memberikan perhatian kepada ke-19 anggota DPR itu, dan telah memperlihatkan rasa hormat kepada DPR.

Soeharto kemudian mencabut hak-hak perjalanan para kritikusnya, dan melarang koran-koran menerbitkan foto-foto mereka ataupun mengutip pernyataan-pernyataan mereka. Para anggota kelompok ini tidak dapat memperoleh pinjaman bank dan kontrak-kontrak.

Tindakan Soeharto itu menegaskan bahwa kritik atasnya dan pengkritiknya benar belaka.

Dia benar-benar menunjukkan dirinya sebagai “personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila”.

Ia menguasai tafsir atas Pancasila. Ia dengan keras mengkritik balik para pengkritiknya: “(Mereka)… Merasa mengerti, tetapi pada dasarnya ia tidak mengerti pancasila dan UUD 45.”

Catatan:

Para penandatangan “Petisi 50” adalah:
H.M. Kamal, Letjen Ahmad Yunus Mokoginta, Suyitno Sukirno, Letjen (purn.) M. Jasin, Ali Sadikin, Prof. Dr. Mr. Kasman Singodimedjo, M. Radjab Ranggasoli, Bachrun Martosukarto SH, Abdul Mu’thi SH (Bandung), M. Amin Ely, Ir. H.M. Sanusi, Mohammad Natsir, Ibrahim Madylao, M. Ch Ibrahim, Bustaman SH, Burhanuddin Harahap, Dra S.K. Trimurti, Chris Siner Key Timu, Maqdir Ismail, Alex Jusuf Malik SH, Julius Hussein, SE, Darsjaf Rahman, Slamet Bratanata, Endy Syafruddin, Wachdiat Sukardi, Ibu D. Walandouw, Hoegeng Imam Santoso, M. Sriamin, Edi Haryono, Dr. A.H. Nasution, Drs. A.M. Fatwa, Indra K. Budenani, Drs. Sulaiman Hamzah, Haryono, S. Yusuf, Ibrahim G. Zakir, Ezra M.T.H Shah, Djalil Latuconsina (Surabaya), Djoddy Happy (Surabaya), Bakri A.G. Tianlean, Dr. Yudilherry Justam, Drs. Med. Dody Ch. Suriadiredja, A. Shofandi Zakaria, A. Bachar Mu’id, Mahyudin Nawawi, Syafruddin Prawiranegara, SH, Manai Sophiaan, Mohammad Nazir, Anwar Harjono, Azis Saleh, dan Haji Ali Akbar.

Sumber: Wikipedia, dan buku “Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”.

[Penulis adalah mantan wartawan. Kini bermukim di Jakarta. Giat menulis puisi da

Posting Komentar

0 Komentar