Sharif Osman Hadi, seorang pemimpin mahasiswa yang menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan lama di Bangladesh, ditembak saat berkampanye di ibu kota Dhaka dan meninggal dunia setelah dirawat di Singapura, memicu gelombang unjuk rasa besar di banyak kota di seluruh negeri. Demonstran yang marah turun ke jalan, menuntut agar pelaku penembakan segera ditangkap dan menuduh musuh asing ikut campur dalam urusan dalam negeri Bangladesh.
Sejak wafatnya Hadi, kerusuhan terus berlanjut, dengan ribuan mahasiswa dan warga sipil berkumpul di Dhaka, Chattogram, dan kawasan lainnya, menuntut keadilan atas kematian tokoh pro‑demokrasi itu dan menyuarakan kritik terhadap pemerintahan sementara yang dipimpin Muhammad Yunus.
Para pengunjuk rasa tidak hanya menyerukan penangkapan pelaku, tetapi juga mengarahkan kemarahan mereka kepada media lokal yang mereka anggap berpihak kepada pihak yang mereka tuduh sebagai dalang di balik insiden itu. Gedung media besar seperti Prothom Alo dan The Daily Star menjadi target vandalisme dan dibakar oleh massa saat ketegangan politik meruncing.
Situasi makin memanas karena sejumlah demonstran membawa pesan yang mengandung penolakan atas pengaruh media India, yang dianggap sebagai aktor di balik kekacauan politik di Bangladesh, sebuah tuduhan yang dibantah keras oleh pemerintah India. New Delhi menolak klaim bahwa wilayahnya dipakai untuk kegiatan yang merugikan Bangladesh dan menegaskan sikap non‑interferensi serta dukungan terhadap proses demokrasi di negara itu.
Krisis di Bangladesh ini terjadi saat negara itu dipimpin oleh pemerintahan interim yang tidak biasa. Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian, ditunjuk sebagai Chief Adviser setelah pemimpin sebelumnya, Sheikh Hasina, lengser dan pergi ke India setelah protes besar tahun 2024. Yunus menjalankan pemerintahan sementara dengan sistem non‑partisan, membawahi kabinet sementara yang bertugas mengelola negara sampai pemilu diselenggarakan.
Posisi Chief Adviser sendiri bukan bagian dari struktur pemerintahan tetap dalam konstitusi Bangladesh, melainkan jabatan transisi untuk mengisi kekosongan pemerintahan hingga pemilu baru dapat diselenggarakan secara adil dan damai. Dalam situasi saat ini, Yunus bertanggung jawab kepada Presiden dan Mahkamah Agung, sambil merespons tekanan dari publik dan kelompok politik yang terus bersuara keras di jalan‑jalan.
Pemilihan umum baru telah dijadwalkan pada 12 Februari 2026, sebuah tanggal yang ditetapkan untuk mengakhiri periode transisi dan memberikan mandat demokratis bagi pemerintah reguler berikutnya. Situasi keamanan yang tidak stabil, termasuk penembakan tokoh politik dan kerusuhan jalanan, membuat tantangan besar bagi pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil.
Hubungan antara Bangladesh dan India pun berada di bawah tekanan. Sementara pemerintah India menekankan dukungannya terhadap pemilu yang damai dan tidak mencampuri urusan dalam negeri Bangladesh, sentimen anti‑India terus menguat di antara sebagian pengunjuk rasa yang percaya bahwa New Delhi punya peran yang terlalu besar dalam politik domestik Bangladesh menjelang pemilu.
Salah satu isu yang menambah murka hubungan diplomatik adalah kontroversi seputar apa yang disebut peta “Greater Bangladesh”. Peta ini menggambarkan wilayah yang jauh lebih luas dari Bangladesh, termasuk bagian timur dan timur laut India, dan sempat menjadi viral di media sosial serta dibahas di parlemen India sebagai propaganda yang berbahaya.
Konsep Greater Bangladesh sendiri adalah sebuah ide irredentis yang pernah diusung oleh kelompok‑kelompok ekstrem atau ultranasionalis, bukan doktrin resmi pemerintah, namun pemasangan atau perbincangan peta semacam itu di ruang publik cukup memicu kemarahan di New Delhi karena menyinggung persoalan kedaulatan dan batas wilayah.
Pemerhati politik melihat bahwa isu peta dan sentimen anti‑India yang dipupuk oleh sebagian demonstran merupakan simbol kuat ketidakpuasan publik terhadap pengaruh politik luar negeri yang dirasakan terlalu dominan selama bertahun‑tahun, terutama pada masa pemerintahan Awami League sebelumnya.
Kritikus juga memperingatkan bahwa penggunaan simbol geografis seperti peta yang menyinggung wilayah negara lain sangat sensitif dan bisa memperkeruh hubungan bilateral, bahkan jika niatnya hanya retoris atau sebagai ekspresi politik domestik.
Di tengah semua itu, Yunus berusaha menenangkan situasi. Ia mengutuk kekerasan termasuk aksi pembakaran dan lynching yang terjadi dalam kerusuhan, dan menegaskan komitmen pemerintah untuk melakukan investigasi yang jujur terhadap penembakan Hadi serta menjamin keamanan saat pemilu mendekat.
Sementara itu, partai politik lama seperti Awami League tetap menjadi sorotan. Setelah dibekukan dari kontestasi pemilu, partai ini mengalami tekanan internal dan konflik, sementara kelompok politik lain seperti Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) dipandang akan memainkan peran penting dalam kancah politik pasca‑pemilu nanti.
Para analis mengatakan pelaksanaan pemilu 2026 akan menjadi ujian besar bagi sistem demokrasi Bangladesh yang rapuh akibat protes, krisis keamanan, dan polarisasi ideologis yang mendalam. Jika pemilu dapat berlangsung damai dan kredibel, negara itu bisa kembali ke jalur stabilitas politik. Namun jika kekerasan berlanjut, prospek stabilitas jangka panjang akan semakin suram.
Isu hubungan dengan India dan simbol seperti peta Greater Bangladesh akan tetap menjadi bagian dari narasi politik yang lebih luas, mempengaruhi persepsi publik dan arah geopolitik Bangladesh di masa mendatang — sebuah tantangan besar bagi pemerintahan interim untuk menjembatani perbedaan dan membangun kembali kepercayaan di dalam negeri maupun di mata dunia.
Dalam menghadapi tantangan ini, pengamat internasional terus memantau bagaimana Bangladesh akan keluar dari periode transisi yang penuh gejolak ini, sementara rakyat negara itu berharap agar suara mereka terdengar lewat pemilu yang adil dan masa depan politik yang lebih stabil.





0 Komentar