Rusia dalam konflik Ukraina menampilkan wajah keras yang tidak mau mengalah di hadapan Barat. Bagi Moskow, perang ini bukan semata urusan wilayah, melainkan upaya mendasar untuk menolak hegemoni Amerika Serikat dan NATO. Rusia melihat dirinya bukan lagi sekadar pasar bagi produk Barat, melainkan kekuatan besar yang ingin berdiri sendiri meski berisiko terisolasi.
Selama ini produk industri Rusia memang kurang bersaing di pasar global jika dibandingkan dengan Tiongkok. Namun keunggulan Rusia ada pada energi, sumber daya alam, dan kekuatan militer. Karena itu, Kremlin merasa tidak tergantung pada pasar Barat. Justru dengan melawan, Rusia ingin menunjukkan bahwa ia tidak bisa diperlakukan sebagai konsumen abadi tanpa punya kuasa menentukan arah geopolitiknya.
Berbeda dengan Rusia, Tiongkok memilih strategi lain. Beijing tidak menempuh jalur frontal menghadapi Barat, karena justru sangat bergantung pada pasar global, khususnya Amerika dan Eropa. Produk-produk Tiongkok, mulai dari elektronik, pakaian, hingga teknologi tinggi, membanjiri pasar dunia dan menopang pertumbuhan ekonominya.
Tiongkok memahami bahwa konfrontasi terbuka dengan Barat bisa merugikan dirinya sendiri. Karena itu, strategi Beijing adalah menghindari benturan langsung sambil membangun pengaruh di kawasan lain lewat inisiatif besar seperti Belt and Road. Dengan cara ini, Tiongkok menjaga keseimbangan: tetap kompetitif, tetap terhubung, namun tidak terseret ke isolasi.
Posisi Rusia dan Tiongkok yang berbeda ini menunjukkan ada lebih dari satu jalan untuk melawan hegemoni global khususnya AS dan dunia Barat. Rusia memilih perlawanan terbuka karena merasa bisa bertahan tanpa pasar Barat, sedangkan Tiongkok memilih manuver halus karena sangat bergantung pada keterhubungan perdagangan internasional.
Dari kacamata geopolitik, dua pendekatan ini memberi warna berbeda dalam hubungan internasional. Rusia mengambil risiko besar dengan sanksi dan keterputusan ekonomi, sementara Tiongkok tetap menjaga pintu perdagangan terbuka meski memperkuat diri secara militer dan teknologi.
Sementara itu, di kawasan Timur Tengah, terdapat fenomena serupa tetapi dalam skala yang berbeda. Kelompok SDF Kurdi di Suriah, yang membentuk pemerintahan de facto di timur laut, serta separatis Druze milisi Al Hajri di Suwayda, memilih menjauh dari Damaskus. Bukan karena semangat kemerdekaan mutlak, melainkan karena kondisi ekonomi Suriah yang masih hancur pasca konflik.
Bagi SDF yang menguasai 70 persen ladang migas Suriah, membangun struktur pemerintahan otonom berarti menjaga kontrol atas sumber daya lokal dan menghindari ketergantungan pada pusat yang lemah. Mereka sadar bahwa jika terlalu dekat dengan Damaskus, mereka justru akan menanggung beban krisis yang tidak sanggup ditangani negara.
Druze di selatan Suriah juga menampilkan sikap serupa. Gerakan pemisahan diri yang muncul belakangan ini lebih mencerminkan pragmatisme ketimbang ideologi separatis. Mereka ingin mengatur wilayah sendiri agar tidak terpuruk bersama pemerintahan baru Presiden Ahmed Al Sharaa di Damaskus yang kesulitan membiayai layanan dasar bagi rakyat.
Situasi Kurdi dan Druze ini memiliki kemiripan dengan Somaliland. Bekas provinsi Somalia itu sejak awal 1990-an memisahkan diri secara de facto, belakanhan sudah diakui beberapa negara, awalnya bukan karena ingin menciptakan negara baru dengan pengakuan luas, melainkan karena Somalia terlalu kacau untuk dijadikan sandaran. Somaliland memilih stabilitas lokal dibandingkan terikat pada negara pusat yang rapuh.
Dari contoh Suriah dan Somaliland, terlihat pola umum bahwa kelompok atau wilayah di negara lemah cenderung menjaga jarak dari pusat. Hal ini mirip dengan Rusia dan Tiongkok yang tak ingin disatukan menjadi negara ketika di bawah hegemoni AS dkk. Benang merahnya tetap sama: mencari cara untuk menjauh dari dampak negatif hegemoni dan krisis yang melemahkan.
Rusia menjauh dari hegemoni AS dan NATO dengan cara keras, bahkan lewat perang terbuka. Tiongkok menjauh dengan cara halus, menjaga kepentingan pasar sambil memperkuat pengaruh global. SDG Kurdi, separatis Druze, dan Somaliland menjauh dari pusat masing-masing karena pragmatisme bertahan hidup.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa dalam politik internasional maupun domestik, menjauh bukan selalu berarti memisahkan diri. Kadang ia adalah strategi adaptasi terhadap kondisi eksternal yang dianggap membahayakan stabilitas internal.
Bagi Rusia, menjauh berarti menegaskan posisi independen dan menolak dikerdilkan. Bagi Tiongkok, menjauh berarti meredam risiko konfrontasi sambil memaksimalkan keuntungan ekonomi. Bagi kelompok seperti Kurdi dan Druze, menjauh berarti bertahan dari imbas pemerintah pusat yang belum tentu bisa mensejahterakan semua.
Sejarah juga menunjukkan bahwa sikap menjauh ini bisa bertahan lama. Rusia mungkin terus mengukuhkan jalur perlawanan anti-Barat untuk memperkuat industri dalam negerinya. Tiongkok kemungkinan melanjutkan kebijakan ganda: melawan bila perlu, berdagang bila menguntungkan. Separatis Kurdi dan Druze bisa tetap berotonomi secara de facto selama Damaskus belum pulih.
Pola tersebut menegaskan bahwa istilah kedaulatan dalam politik modern tidak lagi tunggal. Ada negara kuat yang menegaskan kedaulatannya dengan frontal melawan hegemoni, ada pula yang memilih jalan kompromi, dan ada kelompok kecil yang mempraktikkan kedaulatan de facto demi bertahan hidup. Jika saja wilayah SDF Kurdi dan Druze langsung terintegrasi pasca kejatuhan rejim Bashar Al Assad, maka kedua wilayah ini juga akan dibom Israel dengan berbagai alasan sebagaimana ratusan kali pemboman di Tartus, Latakia, Damaskus, Homs, Hama dan Palmyra dengan berbagai dalih yang dibuat-buat termasuk mengincar alutsista Assad.
Jika ditarik ke garis besar, semua aktor ini menunjukkan satu hal: ketidakmauan untuk menjadi beban pihak lain. Rusia tidak mau menjadi pasar pasif, Tiongkok tidak mau kehilangan pasarnya, dan separatis Kurdi serta Druze tidak mau ditenggelamkan oleh lemahnya posisi ekonomi pusat.
Dengan demikian, upaya menjauh dari hegemoni atau dari pusat yang lemah bukan hanya ekspresi ideologis, melainkan strategi praktis. Inilah yang menjadikan politik internasional dan regional semakin kompleks: tiap aktor memiliki alasan yang berbeda, namun hasil akhirnya serupa, yaitu menjaga ruang otonomi sendiri.
Dalam dinamika global saat ini, perbedaan strategi antara Rusia, Tiongkok, dan kelompok di Suriah memperlihatkan satu realitas penting. Bahwa kekuatan besar maupun komunitas kecil sama-sama berusaha mencari jalan agar tidak terjebak dalam kelemahan atau dominasi pihak lain.
Pada akhirnya, baik dalam skala global maupun lokal, politik menjauh adalah bentuk adaptasi. Ia bisa lahir dari ambisi, kebutuhan, atau sekadar bertahan. Namun maknanya tetap sama: keinginan untuk menentukan nasib tanpa terbebani kekuatan yang lebih besar atau hegemon yang merusak atau lemah.
0 Komentar